Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) adalah salah satu taman nasional yang
terletak di Provinsi Jawa Barat. Ditetapkan pada tahun 1980, taman nasional ini
merupakan salah satu yang tertua di Indonesia. TN Gunung Gede Pangrango
terutama didirikan untuk melindungi dan mengkonservasi ekosistem dan flora
pegunungan yang cantik di Jawa Barat. Dengan luas 21.975 hektare, wilayahnya
terutama mencakup dua puncak gunung Gede dan Pangrango beserta tutupan hutan
pegunungan di sekelilingnya. Dinyatakan Menteri Pertanian, tahun 1980 seluas
15.000 hektar, yang terletak Kab. Bogor, Kab. Cianjur dan Kab. Sukabumi,
Provinsi Jawa Barat, pada letak geografis 6°41’ - 6°51’ LS, 106°50’ - 107°02’
BT dengan suhu udara 5° - 28° C, curah hujan Rata-rata 3.600 mm/tahun,
ketinggian tempat 1.000 - 3.000 m. Dpl
Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango merupakan salah satu dari lima taman nasional
yang pertama kalinya diumumkan di Indonesia pada tahun 1980. Keadaan alamnya
yang khas dan unik, menjadikan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango sebagai
salah satu laboratorium alam yang menarik minat para peneliti sejak lama.
Tercatat
pada tahun 1819, C.G.C. Reinwardt sebagai orang yang pertama yang mendaki
Gunung Gede, kemudian disusul oleh F.W. Junghuhn (1839-1861), J.E. Teysmann
(1839), A.R. Wallace (1861), S.H. Koorders (1890), M. Treub (1891), W.M. van
Leeuen (1911); dan C.G.G.J. van Steenis (1920-1952) telah membuat koleksi
tumbuhan sebagai dasar penyusunan buku “THE MOUNTAIN FLORA OF JAVA” yang
diterbitkan tahun 1972.
Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango memiliki keanekaragaman ekosistem yang terdiri
dari ekosistem sub-montana, montana, sub-alpin, danau, rawa, dan savana.
Ekosistem
sub-montana dicirikan oleh banyaknya pohon-pohon yang besar dan tinggi seperti
jamuju (Dacrycarpus imbricatus), dan puspa (Schima walliichii). Sedangkan
ekosistem sub-alphin dicirikan oleh adanya dataran yang ditumbuhi rumput
Isachne pangerangensis, bunga eidelweis (Anaphalis javanica), violet (Viola
pilosa), dan cantigi (Vaccinium varingiaefolium).
Satwa
primata yang terancam punah dan terdapat di Taman Nasional Gunung
Gede-Pangrango yaitu owa (Hylobates moloch), surili (Presbytis comata comata),
dan lutung budeng (Trachypithecus auratus auratus); dan satwa langka lainnya
seperti macan tutul (Panthera pardus melas), landak Jawa (Hystrix brachyura
brachyura), kijang (Muntiacus muntjak muntjak), dan musang tenggorokan kuning
(Martes flavigula).
Taman
Nasional Gunung Gede-Pangrango terkenal kaya akan berbagai jenis burung yaitu
sebanyak 251 jenis dari 450 jenis yang terdapat di Pulau Jawa. Beberapa jenis
diantaranya burung langka yaitu elang Jawa (Spizaetus bartelsi) dan burung
hantu (Otus angelinae).
Taman
Nasional Gunung Gede-Pangrango ditetapkan oleh UNESCO sebagai Cagar Biosfir pada
tahun 1977, dan sebagai Sister Park dengan Taman Negara di Malaysia pada tahun
1995.
Sejarah
dan legenda yang merupakan kepercayaan masyarakat setempat yaitu tentang
keberadaan Eyang Suryakencana dan Prabu Siliwangi di Gunung Gede. Masyarakat
percaya bahwa roh Eyang Suryakencana dan Prabu Siliwangi akan tetap menjaga
Gunung Gede agar tidak meletus. Pada saat tertentu, banyak orang yang masuk ke
goa-goa sekitar Gunung Gede untuk semedhi/ bertapa maupun melakukan upacara
religius.
Sejarah kawasan
Kawasan
Gunung Gede dan Gunung Pangrango sesungguhnya telah dikenal lama dalam dongeng
dan legenda tanah Sunda. Salah satunya, naskah perjalanan Bujangga Manik dari
sekitar abad-13 telah menyebut-nyebut tempat bernama Puncak dan Bukit Ageung
(yakni, Gunung Gede) yang disebutnya sebagai "..hulu wano na Pakuan"
(tempat yang tertinggi di Pakuan). Agaknya, pada masa itu telah ada jalan kuno
antara Bogor (d/h Pakuan) dengan Cianjur, yang melintasi lereng utara G. Gede
di sekitar Cipanas sekarang.
Pada masa
penjajahan Belanda wilayah yang subur ini kemudian tumbuh menjadi area
pertanian, terutama perkebunan. Sedini tahun 1728 teh Jepang telah mulai
ditanam, dan pada 1835 perkebunan teh ini telah dikembangkan di Ciawi dan
Cikopo. Menyusul pada 1878 dikembangkan teh Assam, yang terlebih sukses lagi,
sehingga mengubah lansekap dan perekonomian di seputar lereng Gede-Pangrango.
Kawasan
Gede-Pangrango juga dikenal sebagai salah satu tempat favorit dan tertua, bagi
penelitian-penelitian tentang alam di Indonesia. Menurut catatan modern, orang
pertama yang menginjakkan kaki di puncak Gede adalah Reinwardt, pendiri dan
direktur pertama Kebun Raya Bogor, yang mendaki G. Gede pada April 1819. Ia
meneliti dan menulis deskripsi vegetasi di bagian gunung yang lebih tinggi
hingga ke puncak. Reinwardt sebetulnya juga menyebutkan, bahwa Horsfield telah
mendaki gunung ini lebih dahulu daripadanya; akan tetapi catatan perjalanan
Horsfield ini tidak dapat ditemukan.
Dua tahun
kemudian, melalui sehelai surat yang dikirimkan dari Buitenzorg (sekarang
Bogor) pada awal Agustus 1821, Kuhl dan van Hasselt menyebutkan bahwa mereka
baru saja menyelesaikan pendakian dan penelitian ke puncak Pangrango. Kedua
peneliti muda itu menemukan banyak jejak dan jalur lintasan badak jawa di sana;
bahkan mereka menggunakannya untuk memudahkan menembus hutan menuju puncak G.
Pangrango. Delapan belas tahun kemudian Junghuhn mendaki ke puncak Pangrango
pada bulan Maret 1839, dan juga ke puncak Gede dan wilayah sekitarnya pada
bulan-bulan berikutnya, untuk mempelajari topografi, geologi, meteorologi,
serta botani tetumbuhan di daerah ini. Sejak masa itu, tidak lagi terhitung
banyaknya peneliti yang telah mengunjungi kawasan ini hingga sekarang, baik
yang tinggal lama maupun yang sekedar singgah dalam kunjungan singkat.
Banyaknya
peneliti yang berkunjung ke tempat ini tak bisa dilepaskan dari kekayaan dan
keindahan alam di Gunung Gede-Pangrango, dan awalnya juga oleh keberadaan Kebun
Raya Cibodas; yang semula --ketika dibangun pada 1830 oleh Teijsman--
sebetulnya dimaksudkan sebagai kebun aklimatisasi bagi tanaman-tanaman yang
potensial untuk dikembangkan dalam perkebunan. Kebun, yang kemudian
dikembangkan menjadi kebun raya (lk. 1870), ini menyediakan tempat menginap
yang cukup baik, sarana penelitian, serta catatan-catatan dan informasi dasar
yang terus bertumbuh mengenai keadaan lingkungan dan hutan di sekitarnya. Pada
tahun 1889, atas usulan Treub, sebidang hutan pegunungan seluas 240 hektare di
atas kebun raya tersebut hingga ke wilayah sekitar Air Panas ditetapkan sebagai
cagar alam oleh Pemerintah Hindia Belanda.Inilah cagar alam dan kawasan
konservasi ragam hayati yang pertama didirikan di Indonesia. Belakangan, pada
1926, cagar alam ini diperluas hingga mencakup puncak-puncak gunung Gede dan
Pangrango, dengan luas total 1.200 ha.
Bersama
dengan meningkatnya kesadaran mengenai pentingnya lingkungan hidup, pada tahun
1978 Pemerintah Indonesia menetapkan Cagar Alam (CA) Gunung Gede Pangrango
seluas 14.000 ha, melingkup kedua puncak gunung beserta tutupan hutan di lereng-lerengnya.
Kemudian pada 6 Maret 1980 cagar alam ini digabungkan dengan beberapa suaka
alam yang berdekatan dan ditingkatkan statusnya menjadi Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango --satu dari lima taman nasional yang pertama di Indonesia,
dengan luas keseluruhan 15.196 ha. Dan akhirnya, melalui Surat Keputusan
Menteri Kehutanan nomor 174/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003 tentang
Penunjukan dan Perubahan Fungsi Kawasan Cagar Alam, Taman Wisata Alam, Hutan
Produksi Tetap dan Hutan Produksi terbatas pada Kelompok Hutan Gunung Gede
Pangrango, kawasan TN Gunung Gede Pangrango memperoleh tambahan area seluas
7.655,03 ha dari Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, sehingga total luasannya
kini menjadi 22.851,03 ha.
Letak dan keadaan fisik
Secara
administratif, kawasan TNGGP berada di wilayah 3 kabupaten yakni Kabupaten
Bogor, Cianjur dan Sukabumi), Provinsi Jawa Barat.
Topografi dan vulkanologi
Sebagaimana
namanya, taman nasional ini memiliki dua puncak kembar, yakni puncak Gede
(2.958 m dpl) dan puncak Pangrango (3.019 m dpl). Kedua puncak itu dihubungkan
oleh gigir gunung serupa sadel pada ketinggian lk 2.400 m dpl, yang dikenal
sebagai daerah Kandang Badak. Gunung Pangrango yang lebih tinggi, memiliki
kerucut puncak yang relatif mulus, tipikal gunung yang masih relatif muda
usianya. Gunung Gede lebih rendah, namun lebih aktif, dengan empat kawah yang
masih aktif yaitu Kawah Ratu, Kawah Wadon, Kawah Lanang, dan Kawah Baru.
Titik
puncak Gunung Gede terletak di atas tebing atau gigir kawah yang baru, namun
gigir ini tak lagi utuh karena telah dihancurkan oleh letusan volkanik yang
terjadi berulang kali. Gigir yang lebih tua adalah punggung gunung yang dikenal
sebagai Gunung Gumuruh (2.929 m dpl); kawah-kawah dan puncak Gunung Gede yang
sekarang terletak pada bekas kawah Gunung Gumuruh lama yang telah punah. Di
antara gigir Gunung Gede dan gigir Gunung Gumuruh itulah terletak lembah
dataran tinggi bernama Alun-alun Suryakancana (2.750 m dpl), yang penuh
tertutupi oleh rumpun edelweis jawa yang cantik.
Iklim
Ada dua
iklim yaitu musim kemarau dari bulan Juni sampai Oktober dan musim penghujan
dari bulan Nopember ke April.
Selama
bulan Januari sampai Februari, hujan turun disertai angin yang kencang dan
terjadi cukup sering, sehingga berbahaya untuk pendakian. Hujan juga turun
ketika musim kemarau, menyebabkan kawasan TNGP memiliki curah hujan rata-rata
pertahun 4.000 mm. Rata-rata suhu di Cibodas 23 °C.
Keanekaragaman hayati
Sebagaimana
telah disebutkan, terutama adalah kekayaan ragam hayati flora pegunungan yang
pada mulanya telah menarik banyak ahli dan peneliti mengunjungi kawasan
Gede-Pangrango. Thunberg bahkan telah membuat kajian botani di wilayah ini pada
tahun 1777. Blume mendaki ke puncak Gede di tahun 1824, melalui untuk pertama
kalinya jalur yang kini dikenal sebagai Jalur Cibodas, dan singgah di
Cibeureum. Wallace kemudian mengikuti jalur ini, ketika ia mengunjungi wilayah
ini di musim penghujan 1861 untuk mengoleksi burung dan serangga, meskipun
tanpa hasil yang cukup memuaskan.
Tutupan vegetasi
Secara
tradisional, pada garis besarnya para ahli membedakan tipe hutan primer yang
ada di pegunungan ini atas dua jenis, yakni tipe hutan tinggi (high forest) dan
tipe hutan elfin atau hutan lumut. Hutan tinggi di pegunungan ini lebih lanjut
dibedakan atas hutan pegunungan bawah dan hutan pegunungan atas. Sedangkan
hutan elfin dinamai pula sebagai hutan alpinoid atau vegetasi sub-alpin.
Hutan pegunungan bawah
Hutan
pegunungan bawah atau hutan submontana di Gede-Pangrango berada pada kisaran
ketinggian 1.000 hingga 1.500 m dpl. Hutan ini dapat segera dikenali oleh sebab
kekayaannya akan jenis-jenis pohon, dengan atap tajuk (kanopi) setinggi 30-40
m, dan 4-5 lapisan tajuk vegetasi. Dari segi floristiknya, Junghuhn dan Miquel
menamai zona hutan ini sebagai zona Fago-Lauraceous, karena didominasi oleh
jenis-jenis Fagaceae, misalnya pasang (Lithocarpus, Quercus) dan saninten
(Castanopsis), serta jenis-jenis Lauraceae seperti aneka macam medang (Litsea
spp.); diikuti dengan jenis-jenis lain, bahkan hingga sebanyak 78 spesies pohon
dalam satu hektare. Di atas kanopi rata-rata, acap mencuat pohon-pohon
tertinggi yang dikenal sebagai sembulan (emergent trees), dari jenis-jenis
Altingia (rasamala), Dacrycarpus (jamuju), dan Podocarpus (ki putri).
Hutan pegunungan atas
Hutan
pegunungan atas atau hutan montana di Gede-Pangrango sering memiliki garis
batas yang tajam, mudah terbedakan dari hutan pegunungan bawah dengan melihat
kanopi yang relatif seragam, lk. setinggi 20 m, jarang terlihat adanya sembulan
atau pohon pencuat, daun-daunnya cenderung berukuran kecil, tumbuhan bawahnya
pun tidak setebal atau setinggi di hutan pegunungan bawah; banyak berkabut,
hutan ini memberikan kesan lebih terbuka dan sunyi. Jarang pula dijumpai adanya
tumbuhan pemanjat (liana). Hutan pegunungan antara Cibeureum (1.750 m dpl)
dengan Kandang Badak (2.400 m dpl) didominasi oleh jamuju (Dacrycarpus
imbricatus).
Vegetasi subalpin
Di sebelah
atas Kandang Badak, fisiognomi hutannya kembali berubah. Tajuknya
pendek-pendek, hanya mencapai beberapa meter saja; batang pohon tuanya
berbonggol-bonggol dan berkelak-kelok, bahkan memuntir. Tutupannya begitu
renggang dengan tajuk yang hanya satu lapis, sehingga di hari cerah cahaya
mentari leluasa menerangi lantai hutan. Akan tetapi cuaca di sini mudah berubah
tiba-tiba dengan datangnya kabut, suhu udara pun dapat mendadak turun hingga ke
tingkat yang membekukan. Dengan jarangnya hujan turun, walaupun berkabut, pada
musim kemarau hutan ini acap mengalami kekeringan atau kekurangan air. Lapisan
tanahnya tipis dan banyak berbatu-batu; di tempat-tempat yang lapisan tanahnya
relatif dalam, pohon-pohon tumbuh lebih besar, menunjukkan bahwa mengerdilnya
pohon-pohon di zona ini lebih disebabkan oleh ketersediaan tanahnya. Jenis yang
dominan adalah cantigi gunung (Vaccinium varingifolium).
Di lembah
di antara gigir puncak Gede dengan G. Gumuruh, terdapat padang rumput subalpin
yang dinamai Alun-alun Suryakancana. Tanahnya yang poreus dilapisi oleh semacam
tanah gambut tipis, akumulasi dari bagian-bagian tumbuhan yang mati
berpuluh-puluh tahun. Di sini tumbuh beberapa jenis rumput, paku-pakuan,
sejenis melanding gunung (Paraserianthes lophanta), serta edelweis jawa
(Anaphalis javanica) yang terkenal.
Flora
Taman
nasional ini terutama dikenal karena kekayaan flora hutan pegunungan yang dimilikinya.
Sebagai gambaran, di seluruh wilayah CA Cibodas-Gede (kini bagian dari Taman
Nasional), pada ketinggian 1.500 m dpl hingga ke puncak Gede dan Pangrango,
tercatat tidak kurang dari 870 spesies tumbuhan berbunga dan 150 spesies
paku-pakuan. Jenis-jenis anggrek tercatat hingga 200 spesies di seluruh Taman
Nasional.
Van
Steenis selanjutnya juga mencatat, dari 68 spesies tumbuhan pegunungan yang
langka dan hanya diketahui keberadaannya di satu gunung saja di Jawa, 9 jenis
di antaranya tercatat hanya dari Gunung Gede, dan 6 dari 9 jenis itu endemik
Jawa.
Jenis
edelweis jawa (Anaphalis javanica) yang tumbuh melimpah di Alun-alun
Suryakancana sangat populer di kalangan pendaki gunung dan pecinta alam,
sehingga dijadikan maskot taman nasional ini. Akan tetapi yang endemik Jawa dan
agak jarang dijumpai sebetulnya adalah kerabat dekatnya, Anaphalis maxima; di
TNGGP hanya didapati di G. Pangrango dekat Kandang Badak. Beberapa jenis
endemik lain yang didapati di kawasan ini, di antaranya, sejenis uwi Dioscorea madiunensis;
sejenis jernang Daemonorops rubra; pinang hijau Pinanga javana; sejenis
kapulaga Amomum pseudofoetens; dan masih banyak lagi.
Fauna
Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango memiliki kekayaan jenis hewan yang cukup tinggi,
terutama di zona hutan pegunungan bawah. Beberapa jenisnya yang terhitung
langka, endemik atau terancam kepunahan, di antaranya, adalah owa jawa
(Hylobates moloch), lutung surili (Presbytis comata), anjing ajag (Cuon
alpinus), macan tutul (Panthera pardus), biul slentek Melogale orientalis,
sejenis celurut gunung Crocidura orientalis, kelelawar Glischropus javanus dan
Otomops formosus, sejenis bajing terbang Hylopetes bartelsi, dua jenis tikus
Kadarsanomys sodyi dan Pithecheir melanurus. Beberapa jenis burung seperti
elang jawa (Spizaetus bartelsi), serak bukit Phodilus badius, celepuk jawa Otus
angelinae, cabak gunung Caprimulgus pulchellus, walet gunung Collocalia
vulcanorum, pelatuk kundang Reinwardtipicus validus, ciung-mungkal jawa Cochoa
azurea, anis hutan Zoothera andromedae, dan beberapa spesies lain. Sejenis ular
pegunungan Pseudoxenodon inornatus yang jarang kemungkinan juga terdapat di
sini; juga beberapa jenis amfibia langka seperti katak merah (Leptophryne
borbonica), dan sejenis sesilia Ichthyophis hypocyaneus]. Hewan-hewan
lain yang acap dijumpai, di antaranya monyet kra (Macaca fascicularis), lutung
budeng (Trachypithecus auratus), teledu sigung (Mydaus javanensis), tupai akar
(Tupaia glis), tupai kekes (T. javanica), tikus babi (Hylomys suillus),
jelarang hitam (Ratufa bicolor), bajing-tanah bergaris-tiga (Lariscus
insignis), pelanduk jawa (Tragulus javanicus) dan lain-lain.Seluruhnya, lebih
dari 100 jenis mamalia serta lk. 250 jenis burung.
Pengelolaan kawasan
Pengelolaan
kawasan TNGGP berada di bawah Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan. Tanggung jawab pengelolaan ini berada
di tangan Balai BesarTNGGP yang dipimpin oleh seorang kepala balai. Kantor
Balai Besar TNGGP berada di Cibodas, dan dalam pengelolaan operasionalnya dibagi
menjadi 3 (tiga) Seksi Konservasi Wilayah (SKW), yaitu SKW I di Selabintana,
SKW II di Bogor, dan SKW III di Cianjur. Selanjutnya ketiga seksi itu dibagi
lagi menjadi 13 resort pengelolaan dengan tugas dan fungsi melindungi dan
mengamankan seluruh kawasan TNGP dalam mewujudkan pelestarian sumberdaya alam
menuju pemanfaatan hutan yang berkelanjutan.
Obyek Menarik
o
Telaga Biru. Danau kecil berukuran lima hektar
(1.575 meter dpl.) terletak 1,5 km dari pintu masuk Cibodas. Danau ini selalu
tampak biru diterpa sinar matahari, karena ditutupi oleh ganggang biru.
o
Air terjun Cibeureum. Air terjun yang
mempunyai ketinggian sekitar 50 meter terletak sekitar 2,8 km dari Cibodas. Di
sekitar air terjun tersebut dapat melihat sejenis lumut merah yang endemik di
Jawa Barat.
o
Air Panas. Terletak sekitar 5,3 km atau 2 jam
perjalanan dari Cibodas.
o
Kandang Batu dan Kandang Badak. Untuk kegiatan
berkemah dan pengamatan tumbuhan/satwa.
o
Berada pada ketinggian 2.220 m. dpl dengan
jarak 7,8 km atau 3,5 jam perjalanan dari Cibodas.
Puncak dan Kawah Gunung Gede. Panorama berupa pemandangan matahari terbenam/terbit, hamparan kota Cianjur-Sukabumi-Bogor terlihat dengan jelas, atraksi geologi yang menarik dan pengamatan tumbuhan khas sekitar kawah. Di puncak ini terdapat tiga kawah yang masih aktif dalam satu kompleks yaitu kawah Lanang, Ratu dan Wadon. Berada pada ketinggian 2.958 m. dpl dengan jarak 9,7 km atau 5 jam perjalanan dari Cibodas.
Puncak dan Kawah Gunung Gede. Panorama berupa pemandangan matahari terbenam/terbit, hamparan kota Cianjur-Sukabumi-Bogor terlihat dengan jelas, atraksi geologi yang menarik dan pengamatan tumbuhan khas sekitar kawah. Di puncak ini terdapat tiga kawah yang masih aktif dalam satu kompleks yaitu kawah Lanang, Ratu dan Wadon. Berada pada ketinggian 2.958 m. dpl dengan jarak 9,7 km atau 5 jam perjalanan dari Cibodas.
o
Alun-alun Suryakencana. Dataran seluas 50
hektar yang ditutupi hamparan bunga edelweiss. Berada pada ketinggian 2.750 m.
dpl dengan jarak 11,8 km atau 6 jam perjalanan dari Cibodas.
o
Gunung Putri dan Selabintana. Berkemah dengan
kapasitas 100-150 orang.
Musim kunjungan terbaik
bulan Juni
s/d September.
Akses Ke Lokasi
Jakarta-Bogor-Cibodas
dengan waktu sekitar 2,5 jam (± 100 km) menggunakan mobil, atau
Bandung-Cipanas-Cibodas dengan waktu 2 jam (± 89 km), dan Bogor-Selabintana
dengan waktu 2 jam (52 km).
Kantor Pengelola
Jl. Raya
Cibodas PO Box 3 Sindanglaya
Cipanas 43253, Cianjur, Jawa Barat
Telp. (0263) 512776; Fax. (0263) 519415
E-mail : tngp@cianjur.wasantara.net.id
Cipanas 43253, Cianjur, Jawa Barat
Telp. (0263) 512776; Fax. (0263) 519415
E-mail : tngp@cianjur.wasantara.net.id
Referensi
No comments:
Post a Comment