Taman
Nasional Kayan Mentarang dengan luasnya 1.360.500 hektar, merupakan suatu
kesatuan kawasan hutan primer dan hutan sekunder tua yang terbesar dan masih
tersisa di Kalimantan dan seluruh Asia Tenggara. Taman nasional dibentuk berdasarkan surat keputusan
Menteri Kehutanan nomor 631/Kpts-II/1996, dengan luas 1.360.500 hektar yang berada di Kabupaten
Bulungan, Provinsi Kalimantan Timur dengan letak geografis 1°59’ - 4°24’ LU, 114°49’
- 116°16’ BT.
Temperatur udara 16° - 30° C, curah hujan rata-rata 3.100 mm/tahun dengan ketinggian tempat 200 – 2.558 meter dpl
Taman
nasional ini memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa bernilai tinggi
baik jenis langka maupun dilindungi, keanekaragaman tipe ekosistem dari hutan
hujan dataran rendah sampai hutan berlumut di pegunungan tinggi. Keanekaragaman
hayati yang terkandung di Taman Nasional Kayan Mentarang memang sangat
mengagumkan.
Taman
Nasional Kayan Mentarang (TNKM) ditetapkan pertama kali pada tahun 1980 sebagai
Cagar Alam oleh Menteri Pertanian Indonesia. Kemudian pada tahun 1996, atas
desakan masyarakat lokal (adat) dan rekomendasi dari WWF, kawasan ini diubah
statusnya menjadi Taman Nasional agar kepentingan masyarakat lokal dapat
diakomodasikan. TNKM memiliki kawasan hutan primer dan skunder tua terbesar
yang masih tersisa di Pulau Borneo dan kawasan Asia Tenggara. Nama Kayan
Mentarang diambil dari dua nama sungai penting yang ada di kawasan taman
nasional, yaitu Sungai Kayan di sebelah selatan dan Sungai Mentarang di sebelah
utara. Sumber lain menyebutkan bahwa nama tersebut diambil dari nama dataran
tinggi / plato di pegunungan setempat yang bernama Apau Kayan yang membentang
luas (mentarang) dari daerah Datadian / Long Kayan di selatan melewati Apau
Ping di tengah dan Long Bawan di utara. Dengan luas lahan sekitar 1,35 juta
hektare, hamparan hutan ini membentang di bagian utara Provinsi Kalimantan
Timur, tepatnya di wilayah Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan dan Kabupaten
Bulungan, berbatasan langsung dengan Sabah dan Sarawak, Malaysia. Sebagian
besar kawasan masuk dalam Kabupaten Malinau dan sebagian lagi masuk dalam
Kabupaten Nunukan. Potensi wisata di Taman Nasional Kayan Mentarang ialah Hulu
Pujungan, Hulu Krayan dan Hulu Kayan/Datadian.
Kawasan
TNKM terletak pada ketinggian antara 200 meter sampai sekitar ±2.500 m di atas
permukaan laut, mencakup lembah-lembah dataran rendah, dataran tinggi
pegunungan, serta gugus pegunungan terjal yang terbentuk dari berbagai formasi
sedimen dan vulkanis.
Tingginya
tingkat perusakan hutan di Kalimantan dan banyaknya bagian hutan yang beralih
fungsi, menyebabkan kawasan TNKM menjadi sangat istimewa dan perlu mendapat
prioritas tinggi dalam hal pelestarian keanekaragaman hayati dan budaya
masyarakat yang masih tersisa.
Keanekaragaman hayati
Tipe-tipe
utama adalah hutan Dipterokarp, hutan Fagaceae-Myrtaceae atau hutan Ek, hutan
pegunungan tingkat tengah dan tinggi (di atas 1.000 m di atas permukaan laut),
hutan agathis, hutan kerangas, hutan rawa yangterbatas luasnya, serta suatu
tipe khusus "hutan lumut" dipuncak-puncak gunung diatas ketinggian
1.500 m di atas permukaan laut. Selain itu, terdapat pula berbagai jenis hutan
sekunder. Hutan di wilayah sepanjang sungai Bahau adalah hutan perbukitan
dengan tebing-tebing terjal yang sangat sulit untuk didaki dari tepi sungai.
Hutan di wilayah ini memiliki banyak sekali air terjun dari berbagai ukuran,
alur aliran air terjun yang berukuran kecil mempunyai tepi sungai yang cukup
landai dan dipergunakan oleh masyarakat sekitar untuk memasuki hutan di kawasan
ini. Pujungan juga dikenal sebagai daerah di mana matahari tidak pernah terbit
dan tidak pernah tenggelam sebab sering tertutup oleh kabut atau awan. Walaupun
demikian, pendarnya sinar matahari dari balik kabut atau awan tersebut mampu
membuat kulit kita memerah terbakartanpa merasakan teriknya panas matahari
karena cukup dinginnya suhu di daerah ini. Dapat dibayangkan dinginnya suhu di
daerah Apau Ping di hulu Pujungan.
Bukan
seperti pada umumnya sungai yang berasal dari 1 mata air di daerah hulu
pegunungan yang kemudian mengalir bercabang-cabang ke hilir hingga menuju ke
muara, sungai-sungai di taman nasional Kayan Mentarang berasal dari banyak mata
air di banyak hulu daerah pegunungan dan mengalir menjadi 1 sungai yang besar
menuju ke hilir hingga ke muara. Pada wilayah selatan taman nasional terdapat sungai
Kayan yang bermuara setelah membelah kecamatan Tanjung Selor dan Tanjung Palas,
berasal dari belasan mata air di hulu Kayan dan hulu Pujungan. Simpang Koala
adalah area pertemuan antara sungai Bahau dan sungai Kayan adalah batas wilayah
kabupaten Bulungan dan kabupaten Malinau. Arus sungai Kayan di daerah Tanjung
Selor sangat tenang dan mulai bergejolak saat memasuki wilayah Long Lejau. Arus
sungai Bahau sangat bervariasi dari ketenangan yang tidak berarus hingga
gejolak arung jeram. Masyarakat Dayak hulu Pujungan memberi sebutan sungai
Bahau sebagai sei giram yang berarti sungai berbatu yang berarus deras. Dan
masyarakat di daerah ini adalah pengemudi-pengemudi perahu yang ulung dan
kompak. Sungai Bahau pada daerah Long Aran mempunyai ketinggian air paling
rendah dan sering menyebabkan para pengemudi perahu serta kepolisian setempat
bahu-membahu menarik perahu kandas yang mempunyai panjang bisa mencapai hingga
20 meter itu beramai-ramai. Profil bebatuan di kedua sungai ini juga berbeda, 2
gambar di kiri adalah profil bebatuan yang dijumpai pada sungai Kayan mulai
daerah Tanjung Selor hingga Simpang Koala, 2 gambar di kanan adalah profil
bebatuan di sungai Bahau yang ditemui sejak area Simpang Koala hingga hulu
Pujungan.
Jenis
flora yang dilaporkan ada dalam kawasan ini di antaranya termasuk 500 jenis
anggrek dan sedikitnya 25 jenis rotan. Selain itu juga telah berhasil
diinventaris 277 jenis burung termasuk 11 jenis baru untuk Kalimantan dan
Indonesia, 19 jenis endemik dan 12 jenis yang hampir punah. Beberapa jenis yang
menarik di antaranya adalah 7 jenis Enggang, Kuau Raja, Sepindan Kalimantan dan
jenis-jenis Raja Udang. TNKM juga merupakan habitat bagi banyak jenis satwa
dilindungi seperti banteng (Bos javanicus), beruang madu (Helarctos malayanus),
trenggiling (Manis javanica), macan dahan (Neofelis nebulosa), landak (Hystrix
brachyura), dan rusa sambar (Cervus unicolor). Pada musim-musim tertentu di
padang rumput di hulu Sungai Bahau, berkumpul kawanan banteng yang muncul dari
kawasan hutan disekitarnya dan menjadi sebuah pemandangan yang menarik untuk
disaksikan.
Keanekaragaman budaya
Profil desa di sepanjang sungai Kayan
Desa di
taman nasional Kayan Mentarang masih berupa desa hutan, Di dalam dan di
sekitarTNKM ditemukan beraneka ragam budaya yang merupakan warisan budaya yang
bernilai tinggi untuk dilestarikan. Sekitar 21.000 orang dari bermacam etnik
dan sub kelompok bahasa, yang dikenal sebagai suku Dayak, bermukim di dalam dan
disekitar taman nasional. Komunitas Dayak, seperti suku Kenyah, Kayan,
Lundayeh, Tagel, Saben dan Punan, Badeng, Bakung, Makulit, Makasan mendiami
sekitar 50 desa yang ada di dalam kawasan TNKM.
Ditemukannya
kuburan batu di hulu Sungai Bahau dan hulu Sungai Pujungan, yang merupakan
peninggalan suku Ngorek, mengindikasikan bahwa paling tidak sejak kurang lebih
400 tahun yang lalu masyarakat Dayak sudah menghuni kawasan ini. Peninggalan
arkeologi yang paling padat ini diperkirakan sebagai peninggalan yang paling
penting untuk pulau Borneo.
Masyarakat
di dalam kawasan taman nasional masih sangat bergantung pada pemanfaatan hutan
sebagai sumber penghidupan, seperti kayu, tumbuhan obat, dan binatang buruan.
Mereka juga menjual tumbuhan dan binatang hasil hutan, karena hanya ada sedikit
peluang untuk mendapatkan uang tunai. Pada dasarnya masyarakat mengelola sumber
daya alam secara tradisional dengan mendasarkan pada variasi jenis. Sebagai
contoh banyak varietas padi ditanam, beberapa jenis kayu digunakan untuk bahan
bangunan, banyak jenis tumbuhan digunakan untuk obat, dan berbagai jenis satwa
buruan.
Tingginya
keragaman jenis yang dimanfaatkan, akan memperkecil kemungkinan jenis-jenis
tadi mengalami tekanan. Pengelolaan tradisional tersebut pada dasarnya sangat
sejalan dengan konservasi hutan dan hidupan liar. Sayangnya, peraturan
tradisional atau adat sering tidak dipedulikan oleh pendatang yang terus
meningkat untuk mengambil sumber daya dari kawasan. Perubahan yang cepat dari
mata pencaharian tradisional ke ekonomi membuat orang tergoda untuk mengabaikan
adat.
Pengelolaan kolaboratif
Pengelolaan
hutan tradisional yang dikembangkan pada saat tombak dan sumpit digunakan,
terkesampingkan oleh senjata api, gergaji mesin dan jala. Dengan peralatan yang
semakin modern, orang semakin mudah untuk menangkap binatang dan mengumpulkan
tumbuhan lebih banyak. Belum lagi kegiatan pencurian kayu, pengambilan
produk-produk hutan komersial dan pembangunan jalan yang mulai mengancam sumber
daya alam yang ada di dalam taman nasional.
Dengan
munculnya berbagai ancaman tersebut, masyarakat yang ada di dalam dan disekitar
taman nasional dianggap sebagai aset yang paling tepat untuk menjaga dan
mengelola sumber daya alam yang ada di TNKM. Selain itu, adanya desentralisasi
kewenangan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah Kabupaten, Kota dan
Provinsi, juga merupakan aset penting untuk menjaga dan mengelola sumber daya
alam TNKM.
WWF
Indonesia, bekerjasama dengan para pihak terkait (stakeholders), yaitu
Departemen Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam (PHKA), Pemerintah Daerah, Masyarakat Lokal (Adat) dan
Lembaga-lembaga Internasional, berupaya mendayagunakan asset-aset penting tadi
sebagai suatu peluang dan sekaligus kekuatan untuk menemukan model baru dalam
pengelolaan Taman Nasional di Indonesia. Dengan kearifan yang tinggi, para
pihak terkait sepakat untuk mencoba membangun suatu model Pengelolaan
Kolaboratif bagi TNKM.
Pada 4
April 2003, Menteri Kehutanan RI menetapkan Pengelolaan Kolaboratif untuk TNKM
melalui Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 1213, 1214, 1215/Kpts-II/2002.
Ini merupakan tonnggak sejarah baru dalam pengelolaan Taman Nasional di
Indonesia yang selama ini pengelolaan sepenuhnya dilakukan oleh Pemerintah
Pusat.
Prinsip
pengelolaan kolaboratif TNKM meliputi enam aspek, yaitu: berbasiskan masyarakat
(community-based), mengikutsertakan para pihak terkait (multistakeholders),
berbagi tanggung jawab (sharing of responsibilty), berbagi peran (sharing of
role), berbagi manfaat (sharing of benefit), dan berdsasarkan Rencana
Pengelolaan (Management Plan) Taman Nasional yang syah.
Kelembagaan
Bentuk
kolaboratif diwujudkan kedalam sebuah wadah organisasi yang disebut sebagai
Dewan Penentu Kebijakan (DPK) TNKM. Keanggotaan DPKTNKM terdiri dari: Bupati
Malinau (Ketua merangkap anggota), Bupati Nunukan (Wakil Ketua merangkap
anggota), Ketua Forum Musyawarah Masyarakat Adat (FoMMA) TNKM (Wakil Ketua
merangkap anggota), Ketua Bappeda Kabupaten Malinau (Sekretaris I merangkap
anggota), Ketua Bappeda Kabupaten Nunukan (Sekretaris II merangkap anggota),
Kepala BKSDA Kalimantan Timur (Bendahara merangkap anggota), dan para anggota
lainnya terdiri dari Perwakilan FoMMA (4 orang), Ketua Bappeda Kalimantan
Timur, Direktur Konservasi Kawasan PHKA, serta Kepala Sub Direktorat Kawasan
Pelestarian Alam PHKA.
Tugas
pokok DPKTNKM antara lain: membantu Pemerintah mengelola TNKM, bersama
Pemerintah menentukan kebijaksanaan pengelolaan TNKM sesuai aspirasi para
pihak, memberi saran dan pertimbangan dalam pembangunan TNKM, mengusulkan
pembentukan Badan Pengelola TNKM kepada Menteri Kehutanan, dan berkoordinasi
dengan Dirjen PHKA. Kegiatan pengelolaan TNKM dilaksanakan oleh Badan Pengelola
TNKM yang unsur-unsurnya terdiri dari Masyarakat lokal (Adat), BKSDA/PHKA, dan
LSM.
Landasan
telah dibangun, namun membangun suatu model pengelolaan kolaboratif yang
benar-benar berbasiskan masyarakat memerlukan perjalanan panjang karena
berbagai kendala yang dihadapi, seperti misalnya gejolak politik, kepastian
hukum, kesiapan dan dukungan para pihak. Saat ini, WWF Indonesia-Kayan
Mentarang Project yang telah aktif di kawasan TNKM sejak 1980-an, sedang
memfokuskan kegiatannya pada implementasi Rencana Pengelolaan TNKM dan
mempersiapkan para pihak untuk melaksanakan Pengelolaan Kolaboratif TNKM.
Kearifan
Lokal
Sungai-sungai
yang ada di taman nasional ini seperti Sungai Bahau, Sungai Kayan dan Sungai
Mentarang digunakan sebagai transportasi menuju kawasan. Selama dalam
perjalanan, selain dapat melihat berbagai jenis satwa yang ada di sekitar
sungai, juga dapat melihat kelincahan longboat dalam melewati jeram, ataupun
melawan arus yang cukup deras.
Keberadaan
sekitar 20.000-25.000 orang dari berbagai kelompok etnis Dayak yang bermukim di
sekitar kawasan taman nasional seperti Kenyah, Punan, Lun Daye, dan Lun Bawang,
ternyata memiliki pengetahuan kearifan budaya sesuai dengan prinsip konservasi.
Hal ini merupakan salah satu keunikan tersendiri di Taman Nasional Kayan
Mentarang. Keunikan tersebut terlihat dari kemampuan masyarakat melestarikan
keanekaragaman hayati di dalam kehidupannya. Sebagai contoh berbagai varietas
dan jenis padi terpelihara dan terkoleksi dengan cukup baik untuk menunjang kehidupan
masyarakat sehari-hari.
Banyak
peninggalan arkeologi berupa kuburan dan alat-alat dari batu yang terdapat di
taman nasional (umurnya lebih 350 tahun), dan diperkirakan merupakan situs
arkeologi yang sangat penting di Kalimantan.
Flora
Beberapa
tumbuhan yang ada antara lain pulai (Alstonia
scholaris), jelutung (Dyera
costulata), ramin (Gonystylus
bancanus), Agathis (Agathis
borneensis), kayu ulin (Eusideroxylon
zwageri), rengas (Gluta
wallichii), gaharu (Aquilaria
malacensis), aren (Arenga
pinnata), berbagai jenis anggrek, palem, dan kantong semar. Selain itu,
ada beberapa jenis tumbuhan yang belum semuanya dapat diidentifikasi karena
merupakan jenis tumbuhan baru di Indonesia.
Fauna
Terdapat
sekitar 100 jenis mamalia (15 jenis diantaranya endemik), 8 jenis primata dan
lebih dari 310 jenis burung dengan 28 jenis diantaranya endemik Kalimantan
serta telah didaftarkan oleh ICBP (International
Committee for Bird Protection) sebagai jenis terancam punah.
Beberapa
jenis mamalia langka seperti macan dahan (Neofelis nebulosa), beruang madu (Helarctos malayanus euryspilus), lutung dahi putih (Presbytis frontata frontata), dan
banteng (Bos javanicus lowi).
Obyek
Menarik
Pantai Pulau Datok dan Bukit
Lubang Tedong. Wisata bahari dan berenang
Gunung Palung (1.116
m. dpl) dan Gunung
Panti (1.050 m. dpl). Pendakian, air terjun, pengamatan tumbuhan/satwa
dan berkemah.
Cabang Panti.
Pusat penelitian dengan fasilitas stasiun penelitian, wisma peneliti dan
perpustakaan.
Kampung Baru.
Pengamatan satwa bekantan.
Sungai Matan dan Sungai
Simpang. Menyelusuri sungai, pengamatan satwa dan wisata budaya
(situs purbakala).
Atraksi budaya di luar taman nasional: Keanekaragaman hayati bernilai tinggi dan masih alami,
merupakan tantangan bagi para peneliti untuk mengungkapkan dan mengembangkan
pemanfaatannya. Disamping itu keindahan alam hutan, sungai, tebing, kebudayaan
suku Dayak merupakan daya tarik yang sangat menantang bagi para petualang dan
wisatawan.
Musim kunjungan terbaik
bulan
September s/d Desember setiap tahunnya.
Akses
Ke Lokasi
Dari
Samarinda ke Tarakan (plane) sekitar satu jam, dilanjutkan menggunakan speed
boat/klotok menyusuri sungai Mentarang ke lokasi dengan waktu enam jam sampai
satu hari.
Kantor
Pengelola
Referensi
No comments:
Post a Comment